Kamis, 26 Maret 2015

Awal Penyebaran HIV/AIDS di Kota Pekalongan

“ …. kasus HIV/AIDS di Kota Pekalongan ditemukan pertama kali pada tahun 2004.” Ini pernyataan Kepala Dinkes Kota Pekalongan, Dwi Heri Wibawa, dalam berita “10 Tahun, 68 Penderita HIV/AIDS Meninggal” di Harian “Radar Pekalongan” (7/11-2014).
Dari pernyataan dan judul berita di atas ada beberapa hal yang luput dari perhatian (wartawan), yaitu:
(1) Tidak dijelaskan kasus pertama tahun 2004 itu terdeteksi sebagai kasus HIV-positif atau sudah pada masa AIDS. Soalnya, kalau kasus pertama itu terdeteksi pada orang yang sudah masa AIDS itu artinya dia tertular antara 5-15 tahun sebelum terdeteksi yaitu antara tahun 1989 dan 1999. Maka, penyebaran HIV/AIDS sudah terjadi di Kota Pekalongan sejak tahun 1989.
(2) Penderita HIV/AIDS yang meninggal yaitu 68 orang merupakan persoalan besar karena sebelum mereka meninggal mereka sudah menularkan HIV/AIDS kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Seorang pengidap HIV/AIDS meninggal itu terjadi di masa AIDS. Artinya, dia sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelum meninggal.
(3) Jika di antara pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada pekerja seks komersial (PSK), maka itu artinya sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS yaitu laki-laki yang ngeseks dengan PSK tsb. tanpa memakai kondom. Satu orang PSK saja ada 3.600 – 10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV sebelum dia meninggal [1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x (5 tahun atau 15 tahun)]
Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang tertular HIV/AIDS dari 68 pengidap HIV/AIDS yang meninggal para rentang waktu 2004-2014. Paling tidak jika yang meninggal suami tentulah istri dan anak-anaknya berisiko tertular HIV/AIDS.
Disebutkan pula bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Pekalongan adalah 102. Yang perlu diingat angka ini adalah jumlah kasus yang terdeteksi. Karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu kasus yang terdeteksi (102) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.
Maka, kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dalam berita disebutkan Kepala Dinkes Kota Pekalongan, Dwi Heri Wibawa, membuka ‘Seminar Update Status Perilaku Remaja Indonesia Masa Kini’ di Kota Pekalongan.
Objek seminar itu merupakan bias yang disengaja untuk menutupi perilaku orang-orang dewasa, terutama laki-laki. Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat adalah laki-laki dewasa yang bisa dilihat pada kasus ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Yang mendesak ditangani adalah laki-laki yang ngeseks dengan PSK tanpa kondom. Tapi, bisa saja Kadis Kesehatan “buang badan” dengan mengatakan di Kota Pekalongan tidak ada PSK. Ya, ini bensar secara de jure karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk berdasarkan regulasi peraturan.
Tapi, secara de facto praktek pelacuran terjadi di Kota Pekalongan di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan cewek-cewek panggilan dalam berbagai bentuk, seperti pemijat plus-plus, ABG, ‘mahasisw’, dll.
Disebutkan pula bahwa “Setiap tahun ditemukan penderita baru HIV/ AIDS.”
Tentu saja akan terus terdeteksi kasus baru karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menularkan HIV/AIDS ke orang lain tanpa mereka sadari karena tidak ada ciri-ciri khas AIDS pada fisik mereka.
Kasus-kasus infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa pun akan terus terjadi selama praktek pelacuran tidak dilokalisir.  Soalnya, kalau pelacuran tidak dilokalisir maka tidak bisa dilakukan intervensi berupa program ‘wajib kondom 100 persen’ kepada laki-laki yang ngeseks dengan PSK. Kalau praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu intervensi tidak bisa dilakukan.
Dikatakan lagi bahwa “Dari jumlah tersebut, enam di antaranya bayi dan balita.” Itu artinya ada 6 perempuan yaitu ibu bayi dan balita itu serta 6 laki-laki dewasa yaitu suami dari 6 perempuan tsb. yang mengidap HIV/AIDS.
Pertanyaan untuk Kadinkes Kota Pekalongan: Apakah suami 6 ibu rumah tangga tsb. sudah menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka 6 laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Kota Pekalongan, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan lain, seperti istri lain, pacar, selingkuhan dan PSK.
Ada lagi pernyataan: “Mereka terkena HIV/AIDS akibat perilaku orang tua yang menyimpang.”
Pernyataan ini meupakan mitos (anggapan yang salah) yang justru menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara perilaku menyimpang dengan penularan HIV/AIDS. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi ketika terjadi hubungan seskual yaitu salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual).
Lagi pula ibu bayi dan balita itu sama sekali tidak melakukan perilaku yang menyimpang karena dia hanya melakukan hubungan seksual dengan suaminya.
Psikolog Nur Agustin, mengatakan bahwa remaja memang paling berisiko terkena HIV/AIDS, al. seks bebas dan memakai narkoba suntik.
Kalau ‘seks bebas’ yang dimaksud adalah zina, seperti ngeseks dengan pacar atau PSK maka hal itu tidak otomatis terjadi penularn HIV/AIDS. Begitu pula dengan narkoba risiko tertular HIV/AIDS hanya terjadi kalau narkoba disuntikkan secara bergiliran. Kalau narkoba dipakai sendiri tidak akan pernah terjadi penularan HIV melalui pemakaian narkoba.
Karena sasaran seminar ini adalah remaja pelajar SMP dan SMA amatlah disayangkan karena informasi yang diberikan tidak faktual. Informasi HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral sehingga yang ditangkap remaja-remaja itu hanya mitos bukan fakta tentang cara-cara yang akurat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***

0 komentar:

Posting Komentar